
Trio Edgar Wright, Simon Pegg dan Nick Frost akhirnya menutup trilogi cornetto tiga rasa yang telah mereka awali dengan Shaun of the Dead 9 tahun lalu dalam The World's End.
Bagi yang belum tahu kenapa trilogi ini disebut trilogi cornetto tiga
rasa adalah karena masing-masing filmnya mewakili rasa cronetto. Shaun of the Dead yang penuh darah merupakan perlambang cornetto rasa strawberry. Kemudian Hot Fuzz
yang kental dengan unsur polisi yang juga identik dengan warna biru tua
adalah perlambang cornetto rasa original. Sedangkan sebagai penutup
adalah The World's End yang merupakan perlambang dari cornetto
rasa mint chocolate chip dimana cornetto tersebut identik denagn warna
hijau, mirip dengan warna alien yang ada di gambaran umum masyarakat.
Saya pribadi sangat menyukai Shaun of the Dead dan sudah lebih dari lima kali menontonnya. Sedangkan untuk Hot Fuzz meski tidak sampai menjadi favorit saya tetaplah sebuah buddy-cop comedy yang lucu dan cerdas. Jika This is the End memakai ensemble cast Amerika, maka The World's End
diisi bintang-bintang Inggris. Selain tentunya Simon Pegg dan Nick
Frost, ada nama-nama seperti Rosamund Pike, Martin Freeman, Paddy
Considine, Eddie Marsan hingga Pierce Brosnan.
The World's End adalah kisah tentang Gary King (Simon Pegg) yang
pada saat remaja dulu adalah remaja yang begitu positif dalam memandang
hidup dan mengsisi kesehariannya dengan bersenang-senang bersama para
sahabatnya dan membuat banyak kekacauan kini hanyalah pria dewasa yang
hidupnya diisi dengan mabuk-mabukan dan tidak punya masa depan yang
cerah. Suatu hari ia mulai mengumpulkan sahabat-sahabat lamanya yang
bersama dirinya menyebut diri mereka sebagai five musketeers.
Mulai dari Steven (Paddy Considine), O-Man (Martin Freeman), Peter
(Eddie Marsan) hingga Andy (Nick Frost) yang awalnya menolak pun pada
akhirnya berhasil dikumpulkan oleh Gary. Mereka berlima berkumpul untuk
"pulang" kembali ke kampung halaman di Newton Haven. Mereka pulang
kampung mengikuti ajakan Gary untuk melakukan The Golden Mile,
yakni tantangan mengelilingi Newton Haven dan singgah satu per satu di
12 bar yang ada disana untuk minum-minum. Pada percobaan 20 tahun yang
lalu mereka gagal dan kali ini mereka berambisi mencapai titik akhir
yang terletak di bar bernama The World's End.
Sebaiknya anda tidak terlalu banyak mencari tahu tentang detail film ini, karena The World's End
akan semakin mengejutkan anda jika semakin sedikit yang anda ketahui
tentang jalan cerita film ini. Tapi mengingat banyak materi promosi
sudah memberikan hint tentang kejutan tersebut saya rasa akan ada
banyak penonton termasuk saya yang mengetahui bahwa di pertengahan
nanti filmnya akan berubah arah dengan begitu drastis. Dari sebuah
komedi tentang minum-minum menjadi sebuah cerita yang lebih kompleks dan
menegangkan. Kemudian jika anda sudah mengikuti kolaborasi
Wright-Pegg-Frost sebelumnya anda akan familiar juga dengan bagaimana The World's End
dieksekusi. Masih berpusat di sebuah kota kecil, menjadikan bar sebagai
tempat utama terjadinya kekacauan, kamera yang dinamis, adegan
kejar-kejaran kacau yang diisi momen melompati pagar, dan tentunya
adegan yang memperlihatkan bungkus cornetto. Dan seperti yang sudah kita
tahu trilogi cornetto pasti akan menggabungkan komedi dengan sebuah
genre lain, begitu pula yang terjadi pada The World's End.
Singkatnya jika anda orang yang mengikuti atau bahkan menggemari
kolaborasi mereka bertiga akan dengan cepat merasa nyaman menonton film
ini.
Pertanyaannya adalah apakah film ini berhasil menyamai kualitas dua film sebelumnya? Saya pribadi masih jauh lebih menyukai Shaun of the Dead, tapi The World's End berada dalam level yang sama dengan Hot Fuzz meski dari segi humor maupun cerita Hot Fuzz
sedikit lebih baik. Diluar dugaan kadar komedi dalam film ini tidaklah
terlalu kental apalagi jika dibandingkan dengan dua pendahulunya.
Setelah cukup kental di paruh awal (meski juga kadarnya masih tidak
terlalu tinggi) komedinya mulai berkurang kuantitasnya setelah muncul twist
di pertengahan. Meski masih tetap ada sempilan komedi setelah itu
jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun untungnya komedi yang muncul
efektif untuk setidaknya memunculkan senyum. Kebanyakan komedinya muncul
dari interaksi kocak nan gila antara para karakternya, kekacauan yang
tidak kunjung berhenti juga masih sanggup menghadirkan kelucuan, tapi
yang jelas sosok Gary King milik Simon Pegg yang jago bicara adalah
sumber kelucuan utama. Dialog-dialog yang muncul masih terasa segar
dengan tempo cepat ala komedi-komedi Inggris semua kelucuannya masih
begitu terasa di aspek tersebut.
Bahkan jika kita lihat dari atmosfernya, The World's End terasa jauh lebih kelam dari film pendahulunya. Jika Shaun of the Dead yang penuh darah dan potongan tubuh manusia tetap tidak terasa terlalu kelam, maka The World's End meski
masih terasa kacau dan penuh kesenangan tapi tetap terlihat lebih
dewasa. Aspek drama dalam film ini cukup mendominasi khususnya tentang
berbagai subplot depresif mengenai pria yang mendapati bahwa hidupnya
tidak seindah dan secerah seperti yang ia bayangkan di masa muda dulu,
kisah tentang cinta tak terjamah, sampai kisah dendam akibat bullying
meski beberapa hanya dihantarkan sekilas saja namun terasa mengena dan
membuat atmosfer filmnya terasa cukup kelam untuk ukuran sebuah komedi.
Kisah persahabatan khususnya antara Gary dan Andy juga terasa cukup kuat
berkat chemistry yang masih terjaga antara Simon Pegg dan Nick Frost. The World's End
sesungguhnya adalah kisah tentang mereka yang masih terjebak di masa
lalunya bahkan disaat dunia sudah mendekati akhir sekalipun.
Sesungguhnya The World's End bisa saja berada diatas Hot Fuzz
jika bukan karena klimaks serta konklusinya yang mengecewakan saya.
Setelah perjalanan gila nan seru ternyata kisahnya ditutup hanya dengan
seperti itu saja. Mungkin ini dimaksudkan untuk memaksimalkan potensi
karakter Simon Pegg tapi akhirnya malah terlihat seperti sebuah
kebingungan untuk menemukan cara mengakhiri semuanya. Semakin
mengecewakan karena ini bukan hanya akhir sebuah film tapi juga akhir
dari sebuah trilogi yang luar biasa. Usaha untuk menyelipkan pesan
tentang kebebasan dan penolakan manusia (baca: masyarakat) untuk diatur
pergerakannya dengan alasan dunia yang lebih baik menjadi terasa kurang
mengena. Tapi secara keseluruhan saya masih menyukai The World's End.
Apalagi melihat bagaimana adegan aksinya dieksekusi dengan begitu keren
membuat saya penasaran akan bagaimana Edgar Wright membuat Ant-Man
yang rilis 2015 mendatang. Simon Pegg pun tampil luar biasa disini
menyeimbangkan sisi komedi, dramatik dan sosok yang keren saat harus
beradegan aksi dengan coat panjangnya itu. The World's End mungkin bukan yang terbaik dari trilogi cornetto, tapi dengan keseimbangan komedi, drama dan sci-fi yang dipenuhi tribute bagi film-film klasik seperti The Thing dan Invasion of the Body Snatcher, ini adalah tontonan yang amat menyenangkan.
0 komentar:
Posting Komentar