Dr. Ryan Stone (Sandra Bullock),
seorang insinyur biomedis, harus menjalankan misi luar angkasa pertamanya
dibalik memori kelam yang masih menghantui yang menimpa putri tercintanya.
Stone melakukan beberapa perbaikan serta perawatan rutin pada satelit, bersama
dengan seorang astronot veteran yang menjadikan misi itu sebagai tugas
terakhirnya, Matt Kowalsky (George Clooney), seorang pria yang santai,
seorang joker dengan sikap yang sangat tenang. Yap, sangat tenang, berbeda
dengan Stone yang masih berada di level amatir, astronot yang selalu
menabrakkan pesawatnya di simulator.
Hal
tersebut yang kemudian menjadi awal mula petaka, ketika proses perbaikan sedang
berlangsung, Mission Control (Ed Harris) yang mereka sebut Houston
mengabarkan bahwa Rusia mencoba menghancurkan stasiun miliknya dengan
cara menembakkan rudal, dan kemudian menyisakan puing-puing yang bergerak liar
dengan kecepatan tinggi, menghasilkan efek domino, dan ikut menghancurkan
satelit-satelit lain yang berada disekitarnya, salah satunya space shuttle
milik Matt dan Ryan, Explorer.
Alfonso Cuarón adalah
sosok yang pandai dalam menyampaikan visi yang ia miliki dalam bentuk yang
mudah untuk dicerna. Hanya dua cast penting, plot tipis yang ia tulis bersama Jonás
Cuarón, durasi yang singkat, Cuarón tahu cara menggabungkan cerita yang
bergerak stabil sembari memanjakan penontonnya dengan visual yang menakjubkan.
Konsep isolasi itu di bangun dengan narasi yang simple lewat penggambaran
seorang wanita yang berjuang untuk menemukan oksigen agar dapat bertahan hidup,
terus bergerak maju tanpa backstory untuk memperkuat cerita, menempatkan
harapan sebagai pion utama, setelah itu menyajikan ketegangan yang secara
mengejutkan menuntut sesuatu yang lebih dari anda untuk ikut berpartisipasi
dalam konsep isolasi satu tokoh yang sebenarnya merupakan cara paling ampuh
untuk digunakan ketika suatu film hendak menyampaikan pesan kehidupan yang
bersifat personal.
Apa yang
menjadikan Gravity berhasil menjadi sebuah petualangan yang mampu
membuat anda terus terpaku adalah kemampuan Cuarón untuk menciptakan dinamika
cerita layaknya roller-coaster penuh thrill, naik dan turun, dari
ketegangan dan tekanan batin serta emosional, di bungkus rapi sehingga tidak
terlihat seperti bagian-bagian kecil berbentuk gimmick yang sengaja
untuk dihadirkan agar membantu pergerakan cerita. Yap, ini mengasyikkan,
tingkat ketegangan yang dibangun secara bertahap dan terus meningkat dengan
penggunaan beberapa long-shot yang semakin gila, tapi tidak pernah
kehilangan irama dalam hal kembali membuat anda merasa tenang untuk sekedar
mengatur tempo nafas dan meregangkan otot serta posisi duduk anda kembali
menjadi normal.
Anda
seperti ditekan dan dipuaskan dalam kuantitas dan kualitas yang sama besar dan
sama baiknya. Konflik batin dari kisah kelam masa lalu, kemudian dibalut
bersama gelap, kosong, dan heningnya lingkungan sekitar karakter yang kerap
kali terasa mengintimidasi itu, sesekali menghadirkan view dari bumi di
kejauhan baik itu secara frontal maupun implisit lewat gerakan berputar ataupun
pantulan helm, Alfonso Cuarón seperti mencoba membuat perasaan anda
seperti ikut melayang-layang, sebuah perasaan seperti ditarik mendekat kemudian
di ulur kembali, dengan tujuan yang sama seperti yang ia berikan pada karakter
utama, berupaya untuk menjadikan anda menelaah apa arti kehidupan bagi anda,
lewat kehancuran dan konflik emosional yang sama-sama menawan.
Cuarón
berhasil dalam memadukan tiap elemen film, namun juga tahu cara mewarnai cerita
agar tidak membosankan. Berhasil menjebak anda di luar angkasa yang dipenuhi
rasa gugup itu serta beberapa sentuhan yang mengingatkan anda pada 2001: A
Space Odyssey, ada percakapan klasik ciri khas rom-com, trik WALL-E,
hingga ninabobo dan suara anjing yang cukup menyayat hati. Efek 3D yang ia tampilkan juga
memukau, berhasil menyediakan ruang bermain yang sangat empuk bagi penontonnya,
merasakan atmosfer di luar angkasa yang gelap, serta menulusuri lorong-lorong
spaceship. Begitu pula dengan efek 0-G yang terasa lembut dan sangat
halus. Kali ini saya berhasil dibodohi oleh sebuah seni yang dalam satu paket
didominasi oleh pekerjaan kamera dan sentuhan CGI untuk dapat bertahan
hidup, tapi dia solid dan memuaskan, so sulit untuk tidak memaafkan kesalahan
skala sangat minor yang ia ciptakan.
Peran Bullock
pada film ini mungkin akan terkesan kecil jika dibandingkan dengan pekerjaan
visual, tapi jujur saja film ini akan berakhir menjadi sebuah pertunjukan
visual belaka tanpa cerita mumpuni layaknya Pacific Rim jika Bullock
tidak memberikan performa yang impresif. Bullock berhasil menggambarkan emosi,
rasa takut, kelam, dan putus asa dengan sama baiknya, dan beberapa dari mereka
malah lebih sering muncul lewat ekspresi wajah yang memikat. Ya, itu bekerja
sangat baik, dibantu dengan cinematography dari Emmanuel Lubezki yang
cantik, serta score oleh Steven Price, tidak ada cela yang tak
termaafkan dari penampilan Bullock. Sedangkan mempertanyakan Clooney adalah hal
yang tidak begitu penting, ia kecil namun tetap memorable.
Sayangnya,
Gravity mungkin akan cukup kesulitan untuk dapat memuaskan beberapa
penonton yang sejak awal hanya mengharapkan sebuah tontonan yang ringan untuk dapat
memuaskan mereka, penonton yang tidak mau repot untuk mencoba membuat dirinya
semakin dekat dengan sisi emosional karakter padahal cara tersebut dapat
memberikan mereka kepuasan yang lebih besar. Tidak heran anda mungkin akan
menemukan beberapa penonton yang dengan langkah meyakinkan melangkah keluar
studio ketika film masih berputar di bagian tengah, di iringi sebuah visi dari
simbol tanda tanya besar yang tergantung di atas kepala mereka. Ya, hanya pengalaman
kecil, bukan untuk menunjukkan bahwa apa yang “mereka” lakukan itu adalah
sesuatu yang salah.
0 komentar:
Posting Komentar